Kamis, 11 Juli 2013

sumpah mahasiswa indonesia

Sumpah Mahasiswa: Antara Filosofi Dasar atau Retorika Belaka

Kami Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah :
1. Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
2. Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
3. Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.


Pertama kali mendengar sumpah ini jujur benar-benar bangga dan memiliki apresisi tinggi terhadap mahasiswa-mahasiswi pencetusnya. Diucapkan dengan nada-nada perjuangan, semangat untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik, suara-suara yang bergema memenuhi ruangan "Ospek" waktu itu. Setelah disuguhi dengan video demonstrasi mahasiswa tahun 1998 dan video serta berita-berita ketidakadilan negara dan berbagai penindasan terhadap masyarakat arus bawah, para panitia "ospek" pun meminta kami untuk mengucapkan "Sumpah Mahasiswa" yang suci tersebut.

Setelah acara itu perkuliahan pun berjalan. Saya mulai melihat bahwa, seperti semua hukum yang berlaku di dunia ini, begitu mudah mahasiswa/i untuk mengucapkan sumpah semudah itu pula mereka melupakannya. Berbagai tindakan dan perilaku para mahasiswa seolah tak menunjukkan eksistensi dan loyalitas mereka terhadap sumpah tersebut.

1.Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Kejadian kekerasan di berbagai kampus, baik dalam lingkup militer,sipil, maupun umum tentu sudah jelas mengoyak-oyak sumpah pertama yang setiap mahasiswa pernah ucapkan tersebut. Berbagai hal, baik secara fisik maupun psikis sering mereka lakukan dengan dalil “ketegasan” dan “kedisiplinan”.


2. Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.

Ketika saya berbicara tentang keadilan, maka perspektif yang saya gunakan adalah perspektif menyeluruh, baik dilihat dari mahasiswa, pemerintah, dan masyarakat luas pada umumnya. Bila kita lihat demonstrasi akhir-akhir ini, maka kita akan dengan mudah melihat bagaimana hampir setiap aksi mahasiswa selalu diwarnai dengan kekerasan. Ketika mereka berdalih bahwa mereka memboikot jalan ataupun membakar ban untuk menyampaikan aksinya, tanyakan juga pada mereka, “Apakah kalian tidak sedang mengganggu masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas jalan tersebut? Apakah dengan cara ini kalian tidak sedang menghilangkan hak-hak pengguna jalan yang lain?” Mungkin itu contoh sederhana, tetapi bilakita ingat demonstrasi di Makassar beberapa bulan yang lalu, para mahasiswa dengan sikap arogansinya memboikot dan menghancurkan semua fasilitas umum hanya untuk menyampaikan aspirasi mereka, bahkan mereka melempari mobil ambulance yang sedang lewat. Apakah itu bentuk keadilan untuk masyarakat???

3.Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Untuk satu hal ini saya akan mencoba melihat dari sudut pandang akademik para mahasiswa. Mereka selalu berkata bahwa mereka ingin bahasa yang jujur tanpa kebohongan sama sekali. Sekarang coba tanyakan kepada para mahasiswa, “Apakah kalian jujur ketika ujian? Apakah kalian jujur ketika menyampaikan nilai IP kepada keluarga di rumah? Apakah kalian juga jujur ketika keluarga menanyakan apa kegiatan kalian di kampus?” Jika dilihat dari sisi lain, jujur saya tidak terlalu percaya bahwa mereka berjuang benar-benar murni untuk negara, karena beberapa teman aktivis saya ikut berdemonstrasi hanya untuk mendapatkan uang dan makanan bungkusan dari seorang yang berkepentingan akan adanya demo tersebut.

Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk menggeneralisasikan bahwa semua mahasiswa seperti yang saya ungkapkan tadi, dan saya juga tidak bermaksud untuk membuat mahasiswa benci akan “aktivis” tapi untuk semua Mahasiswa Indonesia saya harapkan dapat lebih dewasa dan mengerti bahwa mereka adalah pioner-pioner pembaharuan yang menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Kalau mahasiswa/i Indonesia masih seperti ini, maka jangan heran jika ketika mereka menjadi “pembesar-pembesar” negeri ini mereka hanya bisa beretorika tanpa ada bukti nyata perubahan bangsa.

“Perubahan yang dilakukan mahasiswa hanyalah sebatas ide, sampai mereka benar-benar menjadi penguasa negeri ini dan mewujudkan perubahan tersebut”

Hidup Mahasiswa!!!

Jumat, 10 Mei 2013

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah yang mengizinkan kapal pukat cincin 1.000 GT ke atas yang menangkap ikan di perairan lebih dari 100 mil (sekitar 180 kilometer) untuk mengangkut ikannya ke luar negeri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Hal tersebut ditegaskan Guru Besar Perikanan Tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Ari Purbayanto, saat dihubungi Kompas, di Jakarta, Selasa (12/3). Ketentuan bagi kapal pukat cincin 1.000 GT itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI.
Komisi IV DPR, Rabu ini, dijadwalkan memanggil pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meminta klarifikasi terkait Permen-KP No 30/2012, khususnya terkait kebijakan kapal pukat cincin 1.000 GT.
Ari mengingatkan, Pasal 25 b Ayat (2) UU Perikanan mengatur bahwa pengeluaran produk perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Selain itu, Pasal 41 Ayat (3) juga menyebutkan, setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lain yang ditunjuk.
”Penyelenggara negara tidak patuh pada aturan. Kebijakan ini untuk siapa? Pemerintah seharusnya berpihak pada nelayan kecil yang jumlahnya dominan ketimbang membuka investasi besar untuk mengangkut ikan ke luar negeri,” ujar Ari.
Lebih dari itu, menurut Ari, Permen-KP 30/2012 juga melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang mewajibkan bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah selama ini dinilai tidak berdaya mengawasi wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Masih banyak kapal asing berbendera Indonesia yang bebas beroperasi di Laut Arafura dengan alat tangkap berbahaya, seperti pukat harimau ganda. Sementara itu, fungsi petugas pengawasan (observer) yang ditempatkan di kapal-kapal ikan nyaris tidak berjalan.
Ketua Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengemukakan, pengadaan setiap kapal pukat cincin 1.000 GT akan menambah tangkapan 12.000 ton per kapal per tahun. Namun, eksploitasi ikan yang berlangsung di wilayah pengelolaan perikanan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sudah memasuki ambang batas maksimum. (LKT)